Wednesday, April 20, 2016

JURNAL: PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM LAUT INTERNASIONAL
Ditha Putri Effendi, Indah Nur Azizah
Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Komputer Indonesia,
Jl. Dipatiukur No 116, Bandung, Indonesia
Kelompok penelitian, UNIKOM, Jl. Dipatiukur No 116, Bandung, Indonesia

E-mail: dithaeffendi@gmail.com indahnurazizah12@gmail.com

Abstrak
Lingkungan laut sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia juga terdapat sumber kekayaan alam hayati maupun non hayati. Oleh karena itu, lingkungan laut harus dikelola supaya dapat berkelanjutan dan dilindungi agar terjaga dengan baik. Hukum laut internasional telah menetapkan asas-asas dasar untuk penataan kelautan. Dalam hukum laut internasional pada Konvensi Hukum Laut 1982 pada pasal 192 berbunyi bahwa, yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.


Abstract
The marine environment is very useful for human life there is also a wealth of natural resources and non-biological. Therefore, the marine environment must be managed in order to be sustainable and protected so well preserved. International marine law have established the basic principles for structuring marine. In international maritime law in 1982 on the Law of the Sea Convention Article 192 reads that, which asserts that each State has the obligation to protect and preserve the marine environment.

Keywords: International Law of the Sea, Protection, Management, Marine Environment, International Law.




1.      Pendahuluan

Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur aktivitas entitas berskala internasional. Pada awalnya, Hukum Internasional hanya diartikan sebagai perilaku dan hubungan antarnegara namun dalam perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas tertentu, perusahaan multinasional dan individu.
Hukum lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam sistem hukum internasional. Bidang baru ini dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama hukum lingkungan laut internasional. Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini menurut dapat dikaji dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international law (CIL) dan (ii) conventional international law, dari kedua sumber hukum ini telah tumbuh hukum lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum lingkungan.
Hukum internasional adalah hukum bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara. Hukum bangsa-bangsa dipergunakan untuk menunjukkan pada kebiasaan dan aturan hukum yang berlaku dalam hubungan antara raja-raja zaman dahulu. Hukum antarbangsa atau hukum antarnegara menunjukkan pada kompleks kaedah dan asas yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa atau negara.
Dalam hukum internasional mencakup batasan-batasan wilayah yang melintasi dua Negara. Batasan-batasan wilayah itu berupa daratan, lautan maupun udara.
Didalam lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran yang bersumber dari operasi kapal tanker, kecelakaan kapal tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar lingkungan laut diperairan Asia Tenggara yang merupakan daerah yang paling produktif dapat dinikmati secara berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

1.1.     Latar Belakang
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut merupakan hal yang sangat penting mengingat bahwa kebutuhan manusia banyak disokong oleh lingkungan laut baik dari segi ekonomi, kebutuhan primer, maupun kebutuhan skunder. Laut merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Semua yang ada di laut bermanfaat dan berguna bagi kelangsungan hidup. Laut sudah membuat sebuah “benua, kawasan, negara, dan dunia sendiri” karena laut memliki iklim, sumber makanan dan membersihkan udara yang kita hirup.
Laut merupakan tempat melakukan perdagangan internasional selain di daratan, begitu juga dalam transportasi Karena tidak semua jalur perdagangan internasional bisa ditempuh melalui darat.
Banyaknya manfaat dari laut yang dihasilkan, tak ayal manusia menggunakan kekayaan hasil laut secara serakah. Sehingga menciptakan pencemaran lingkungan di laut dan bisa menyebabkan kerusakan yang parah bagi ekosistem di laut.
Disisi lain, ancaman yang terjadi di laut selain pencemaran yang menyebabkan kerusakan ekosistem di laut, juga ancaman lainnya seperti perampokan atau pembajakan, tindakan pidana di laut: pencurian ikan. Untuk menjadi penjaga laut yang baik Negara-negara di seluruh dunia harus berpegang pada pengaturan multilateral atas laut yang lebih efektif di bidang ekonomi, pertahanan, dan lingkungan.
Peran laut belum pernah begitu penting dalam kegiatan umat manusia seperti dewasa ini, yang meliputi berbagai kegiatan seperti di bidang perikanan, penambangan sumberdaya mineral, transportasi, produksi energi serta perlindungan dan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu mempertahankan perdamaian dan ketertiban di laut, serta penggunaan sumberdaya laut secara berkelanjutan untuk kepentingan umat manusia, menjadi sangat vital. Untuk itu dalam kurun waktu lebih dari tiga dekade setelah mulai berlakunya, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982,3 yang juga sering disebut sebagi “Constitution of the Oceans”, telah menjadi dasar dalam berbagai upaya untuk mencapai tujuan tersebut.

1.2.     Rumusan Masalah
Terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan laut yang semakin membesar.

1.3.     Maksud dan Tujuan
Melihat dan mengetahui seberapa besar usaha yang dilakukan negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

1.4.     Kegunaan Penelitian
Melihat sebesar apa peningkatan dan pengaruh diterapkannya hukum laut di Indonesia terhadap kejahatan yang terjadi di laut.

2.      Kajian Pustaka dan Kerangka

2.1.  Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam UNCLOS

Pada tanggal 11 Desember 1982 UNCLOS 1982,  menetapkan asas-asas dasar untuk penataan kelautan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa UNCLOS 1982 ini merupakan suatu perjanjian internasional sebagai hasil dari negosiasi antar lebih dari seratus negara, yang mengatur materi yang begitu luas dan kompleks. Secara rinci UNCLOS 1982 menetapkan hak dan kewajiban, kedaulatan, hak-hak berdaulat dan yurisdiksi negara-negara dalam pemanfaatan dan pengelolaan laut.
Secara keseluruhan UNCLOS 1982 ini merupakan suatu kerangka pengaturan yang sangat komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut, sehingga dianggap sebagai “a constitution for the oceans” termasuk didalamnya perlindungan lingkungan laut. UNCLOS 1982 juga menganjurkan kerja sama serupa di bidang perlindungan lingkungan laut dan riset ilmiah kelautan.
UNCLOS 1982 dibagi ke dalam tujuhbelas Bab, dan empatbelas daripadanya mengatur tentang berbagai hal, antara lain tentang pengertian atau istilah dan ruang lingkup berlakunya. Bab-bab selanjutnya berisi ketentuan-ketentuan tentang laut teritorial dan zona tambahan; selat yang digunakan untuk pelayaran internasional; negara kepulauan; zona ekonomi eksklusif; landas kontinen; laut lepas; pulau; laut tertutup dan setengah tertutup; hak negara tak berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan transit; daerah dasar lut samudera dalam (Kawasan); perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; riset ilmiah kelautan; dan pengembangan dan alih teknologi kelautan. Tiga Bab terakhir berisi ketentuan tentang Penyelesaian Sengketa (Bab XV), Ketentuan Umum (Bab XVI) dan Ketentuan Penutup.
UNCLOS 1982 serta Resolusi-Resolusi yang menyertainya merupakan suatu dokumen hukum yang sangat luas, dan bagi mereka yang tidak familiar atau kurang mengikutinya sangat kompleks dan membingungkan. Hal ini terbukti dari banyaknya para ahli, bahkan ahli hukum, yang mencoba menginterpretasikan ketentuan-ketentuan konvensi dengan cara selain “pick and choose” juga tanpa memperhatikan sejarah dan tujuan pembentukannya.
Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terdapat dalam Bab XII UNCLOS, dimana terdapat 11 bagian dari ayat 193-237.
Pasal 192 berbunyi bahwa, yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.
Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan regional tersebut”.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).
Selain Konvensi Hukum Laut,  ada pula konvensi-konvensi lain yang membahas tentang perlindungan lingkungan laut dari pencemaran-pencemaran diantaranya, Konvensi Internasional mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). CLC 1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta. Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang dipakai adalah prinsip tanggung jawab mutlak.
London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk mencegah terjadinya Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan limbah yang berbahaya baik itu dari kapal laut, pesawat udara ataupun pabrik industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk memperhatikan tindakan dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan mengganggu kenyamanan lintasan di laut.
OPRC atau The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation 1990 adalah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi pencemaran laut dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka dapat kita simpulkan bahwa Konvensi ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban dapat ditanggulangi dengan segera.
Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal,1973 sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan pencemaran laut, dan melestarikan lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.

2.2.  Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam Perundang-Undangan RI

Sebelum lahirnya UNCLOS 1982 kewenangan pengaturan pelbagai kegiatan kelautan di Indonesia telah dibagi-bagi berdasarkan undang-undang melalui berbagai institusi sektoral. Kondisi tersebut sangat menyulitkan dalam pelaksanaannya karena hampir semua sektor lebih memperhatikan kepentingan sektornya. Upaya-upaya untuk melahirkan peraturan perundang-undangan yang bersifat integral komprehensif hampir selalu mengundang ketidakpuasan sektor-sektor terkait. Sebagai contoh adalah Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber daya Air, dan Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Hukum laut di indonesia pada praktiknya telah dilakukan sejak kolonialisme Belanda, diantaranya:
a)    UU Kolonial Belanda : Staatblad tahun 1939 No. 442 mengenai ’Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie’ (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim).
b)    Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
c)     Konvensi Hukum Laut PBB ke 3 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82).
d)    UU No 5 Tahun 1983 : ZEE Indonesia.
e)     UU No 17 Tahun 1985 : Ratifikasi UNCLOS 3 1982
f)     UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
g)     UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara
h)    UU No 21 Tahun 2009 tentang Persetujuan pelaksanaan ketentuan-ketentuan UNCLOS 3 (1982) tentang konservasi dan Pengelolaan sediaan ikan yang beruaya terbatas Dan sediaan ikan yang beruaya jauh
Sedanghkan, upaya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut terdapat dalam Undang Undang no 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam undang-undang tersebut terdapat pasal 63 ayat 1l yaitu menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut. Serta dalam ketentuan umum no 2 bahwa Kekayaan itu perlu dilindungi dan dikelola dalam suatu sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terpadu dan terintegrasi antara lingkungan laut, darat, dan udara berdasarkan wawasan Nusantara.
UU Nomor 6 Tahun 1996 menggariskan Prinsip tentang Perlindungan Lingkungan laut dengan menyebutkan bahwa Pemanfaatan Pengelolaan, Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan Peraturan perundang- undangan nasional dan hukum internasional. Demikian juga tentang masalah administrasi Dan yurisdiksi Perlindungan, Dan pelestarian Lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan Peraturan perundang-undangan.
Undang-undang republik indonesia nomor 43 tahun 2008 tentang wilayah negara, Bab x ketentuan lain-lain Pasal 22 disebutkan bahwa Negara Indonesia berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dan lingkungan laut di laut bebas serta dasar laut internasional yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. Dijelaskan bahwa, pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi.
Masih banyak bidang-bidang kerja sama internasional lainnya yang diwajibkan oleh UNCLOS 1982 yang belum dilaksanakan oleh Indonesia, seperti misalnya di bidang pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati secara umum, khususnya untuk jenis-jenis straddling atau shared stocks, dan jenis-jenis ikan yang bermigrasi jauh. Untuk ini keikutsertaan dalam organisasi perikanan regional akan sangat bermanfaat bagi Indonesia. Dewasa ini Indonesia sudah menjadi anggota dari tiga organisasi pengelolaan perikanan regional, yaitu Commission for the Conservation of Southern Blue-fin Tuna (CCSBT), Indian Ocean Rtuna Commission(IOTC) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC).

3.      Objek dan Metode Penelitian

3.1.     Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah melalui studi kepustakaan, yaitu dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku, artikel-artikel, jurnal-jurnal serta Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti yang bertujuan untuk mendapatkan landasan teori mengenai permasalahan yang diteliti.

3.2      Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Proses penalaran yang digunakan dalam menarik kesimpulan adalah dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum yaitu berupa Peraturan Perundang-undangan dan Konvensi yang digunakan kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

4.      Hasil dan Pembahasan

Laut memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Pentingnya laut bagi kehidupan manusia sudah dirasakan sejak dahulu kala. Kegiatan perikanan dan pelayaran sudah dikenal sejak masa perpindahan nenek moyang manusia untuk menyebar ke seluruh belahan dunia.
Kegiatan perikanan yang masa lalu dilakukan secara tradisional sekarang dilaksanakan secara professional dengan mempergunakan peralatan canggih. Dalam kegiatan ini, usaha perikanan juga dapat dilakukan dengan menggunakan perusahaan-perusahaan asing untuk turut serta melakukan kegiatan perikanan di Negara-negara pantai bersangkutan.
Indonesia merupakan Negara yang berbentuk kepulauan dan memiliki wilayah lautan yang luas. Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda merupakan deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional.
Deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea atau UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 atau UNCLOS mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
a.     Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses pengadilannya
b.     Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut,
c.     Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.
d.     Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan
e.     Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya pencemaran laut.
Luasnya lautan di Indonesia menjadi anugrah bagi bangsa Indonesia, karena banyak kekayaan alam yang terkandung di laut Indonesia. Sehingga manusia berlomba-lomba untuk mengumpulkan kekayaan laut demi menambah pundi-pundi keuntungan tanpa memperdulikan sebab-akibat yang akan terjadi pada ekosistem laut mendatang.
Gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine environment) [11] kian hari menarik perhatian berbagai pihak, baik diwujudkan dalam bentuk kerjasama Negara-negara yang berada dikawasan tertentu maupun penelitian yang dilakukan oleh Negara itu sendiri.  Sejalan dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk environmental  impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function) sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982 disebutkan bahwa :
Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi kenyamanan
Seperti saat ini, industri minyak dunia telah berkembang pesat, sehingga kecelakaan kecelakaan yang mengakibatkan tercecernya minyak di lautan hampir tidak bisa dielakkan. Kapal tanker mengangkut minyak mentah dalam jumlah besar tiap tahun.  Apabila terjadi pencemaran miyak dilautan, ini akan mengakibatkan minyak mengapung diatas permukaan laut yang akhirnya terbawa arus dan terbawa ke pantai.
Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut adalah minyak. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak mencemari lingkungan laut. Pada tahun 2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia, yang menurut Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November 2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi.
Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak hanya dapat secara langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya bagi suplay makanan dan habitat lingkungan laut yang merupakan sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan.
Pencemaran minyak mempunyai pengaruh luas terhadap hewan dan tumbuh tumbuhan yang hidup disuatu daerah. Minyak yang mengapung berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang diatas permukaan air. Tubuh burung akan tertutup minyak. Untuk membersihkannya, mereka menjilatinya. Akibatnya mereka banyak minum minyak dan mencemari diri sendiri. Selain itu, mangrove dan daerah air payau juga rusak. Mikroorganisme yang terkena pencemaran akan segera menghancurkan ikatan organik minyak, sehingga banyak daerah pantai yang terkena ceceran minyak secara berat telah bersih kembali hanya dalam waktu 1 atau 2 tahun.
Contoh kasus lainnya adalah tumpahnya minyak yang  terjadi di Selat Malaka menyebabkan pencemaran laut disekitar laut wilayah Singapura, Malaysia dan Indonesia. Tumpahnya minyak di Selat Malaka merupakan pencemaran laut yang bersifat lintas batas Negara. Indonesia, Malaysia dan Singapura melakukan “pengelolaan bersama” Selat Malaka ini yaitu keselamatan navigasi (navigation safety), perlindungan lingkungan (environmental protection), dan keamanan (secutity). Ketiga Negara menyepakati pengelolaan bersama dalam hal keselamatan navigasi dan lingkungan.
Kerjasama dalam keselamatan navigasi dan perlindungan lingkungan merupakan mandate Pasal 43 UNCLOS dimana negara pemakai dan negara yang berbatasan dengan
selat hendaknya bekerjasama melalui persetujuan untuk (a) pengadaan dan pemeliharaan di Selat sarana bantu navigasi dan keselamatan yang diperlukan atau pengembangan sarana bantu pelayaran internasional; dan (b) untuk pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran dari kapal. Bahkan kerjasama tersebut menghendaki partisipasi setiap stakeholders pemakai selat, baik negara pemakai selat maupun perusahaan pemakai selat. Meskipun demikian, hendaknya bantuan tersebut tanpa terlibat untuk mengatur,  menginternasionalisasi maupun tidak melanggar kedaulatan Negara pantai.
Penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut  merupakan hal yang tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari semua Negara-negara seperti yang disebutkan dalam UNCLOS 1982 sebagai berikut :
Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan ciri-ciri regional yang khas
Perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum internasional sebenarnya merupakan akumulasi dari The Principle of National Sovereignity and The Freedom of High Sea. International Maritime Organization (IMO) menyatakan bahwa “a right on the part of a astate threatened with the environmental injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at least where those sources are located on the high seas, to take reasonable action to prevent or abate that injury”.
Instrument hukum utama dalam perlindungan lingkungan laut merupakan United Nations Convention on The Law of Sea (UNCLOS) 1982. UNCLOS 1982 menyebutkan pengertian pencemaran, yaitu: “introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the marine environment including estuaries, which result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate uses of sea, impairment of quality for use of sea water and reduction of amnenities” Pengertian dalam UNCLOS 1982 ini telah mengkombinasikan batasan pencemaran laut secara lebih luas serta menyebutkan sumber pencemaran baik dari land based activities (aktivitas darat), seabed activities (aktivitas leapas pantai), activities in the area (aktivitas di dasar samudra), dumping (pembuangan limbah), vessels (kapal), maupun dari udara (atmosfer).
UNCLOS 1982 mengatur perlindungan lingkungan laut dan pelestarian lingkungan laut dalam Bab XII yang terdiri dari Pasal 192 – Pasal 237. Pasal 193 terdapat ketentuan umum bahwa Negara- negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang serasi dengan kebijakan lingkungan serta sesuai dengan kewajiban setiap negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.
Dalam BAB XII Pasal 197 mengatur tentang tindakan-tindakan pencegahan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran lingkungan laut, termasuk kerjasama global dan regional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan-ketentuan, standard-standard dan praktek-praktek yang disarankan serta prosedur untuk perlindungan dan pedalfat global estarian lingkungan laut dengan memperhatikan ciri-ciri regional yang khas.
ü  Secara khusus perlindungan lingkungan laut dari pencemaran minyak telah diatur dalam konvensi-konveni IMO (International Maritime Organization). Konvensi-konvensi tersebut antara lain: International Convention for Prevention of Pollution of Sea by Oil (OILPOL) 1954 Konvensi ini mengalami perubahan beberapa kali, hingga yang terakhir direvisi pada tahun 1971. Konvensi ini mengatur tentang pengawasan terhadap buangan limbah air berminyak dari kapal biasa dan tanker pengangkut minyak, air ballast, terminal pembuatan minyak dan catatan muatan minyak.
ü  International Convention Relating to Intervention on the High Seas in cases of Oil Pollution Casualties 1969 Konvensi ini memberi kewenangan kepada negara-negara pihak untuk melakukan tindakan terhadap kapal-kapal negara lain yang terlibat suatu kecelakaan atau mengalami kerusakan di laut lepas apabila diperkirakan mengakibatkan pencemaran.
ü  Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (LDC) 1972 Perjanjian ini bersifat global, melarang pembuangan (dumping) bahan berbahaya tertentu dan mensyaratkan izin khusus untuk limbah-limbah tertentu.
ü  International Convention for The Prevention of Pollution from Ship 1973 (MARPOL) Konvensi ini diperbarui tahun 1997, berisi ketentuan mengenai teknis pencemaran dari kapal (kecuali dumping), berlaku untuk semua jenis kapal.
ü  International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC) 1990Konvensi ini bertujuan mengatur kerangka.kerjasama global dalam menangani kecelakaan atau ancaman pencemaran terhadap lingkungan laut. Selain mengatur tentang aspek pencegahan, pengurangan dan penanganan teknis terhadap pencemaran, IMO juga membuat konvensi-konvensi mengenai pertanggungjawaban dan skema ganti rugi pencemaran yang berasal dari minyak.
ü  Convention on the Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC) 1969, diperbaruhi 1976 dan 1992.
ü  Pencemar (pemilik kapal) dikenai strict liability (pertanggungjawaban mutlak) dan compulsory liability insurance (asuransi wajib) oleh konvensi ini.
ü  Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND) 1971 diperbarui 1976, 1992, 2003. Konvensi ini menetapkan pengaturan ganti rugi bagi para korban apabila ganti rugi menurut CLC tidak memadai.

5.      Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Telah banyak kajian maupun konvensi tentang pelestarian dan pengelolaan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dilindungi hukum internasional laut yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi Hukum Laut membuat bab khusus mengenai Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Laut dalam Bab XII. Selain Konvensi Hukum Laut, terdapat konvensi-konvensi lain yang membahas permasalahan lingkungan laut yang lebih spesifik.
        Konvensi-konvensi lain juga digalakan untuk membahas permasalahan yang lebih spesifik misalnya tentang pencemaran dari minyak, dari kapal juga pembuangan limbah.
        Secara garis besar, dengan adanya konvensi-konvensi tersebut, membuktikan bahwa manusia sudah sangat peduli terhadap lingkungan laut. Upaya-upaya meminimalisir kerusakan lingkungan laut pun telah dicanangkan dan dilaksanakan. Akan tetapi, tetap saja masih ada oknum yang sengaja ataupun tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan laut.
Dengan diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985, harus menyesuaikan pengaturan mengenai Negara Kepulauan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang memuat perkembangan-perkembangan dalam pengaturannya.
        Hukum laut yang di jalankan di Indonesia juga sudah cukup lama dijalankan. Namun, untuk masalah pengelolaan dan pelestarian lingkungan laut masih belum ada undang-undang khusus yang mengaturnya. Aturan yang berlaku hanya terdapat dan disamaratakan dengan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam UU No 32 Tahun 2009.

5.2 Rekomendasi

a. Hendaknya pemantauan dan pelaksanaan dari konvensi-konvensi tersebut ditingkatkan.
b. Selain dengan konvensi-konvesi dan penerapan hukum Internasional di negara-negara, perlu juga diadakan sosialisasi terhadap masyarakat agar aturan-aturan tersebut lebih dipahami oleh semua lapisan.
c. Negara yang sudah menyusun kebijakan domestik untuk menghadapi berbagai tantangan yang saling terkait lingkungan laut, seperti pencemaran laut segera menetapkan aturan-aturan yang telah disusun tersebut.
d. Memperbaiki koordinasi agar kebijakan hukum internasional dapat juga diterapkan di negara negara terkait.
e. membuat instansi khusus untuk memantau secara sektoral masalah kelautan misalnya dalam hal konservasi kenanekaragaman hayati, perikanan, dan pencemaran baik di tingkat nasional, regional dan internasional.

Daftar pustaka
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Siahaan, N. H. T. 2004. Hukum lingkungan dan ekologi pembangunan. Jakarta. Erlangga.
Penguatan Hukum Internasional Kelautan 1 Prof. Dr. Etty R. Agoes, S.H., Ll.M.2. Universitas Padjadjaran Bandung, 1 Maret 2015
Hak Lintas Damai (“Right Of Innocent Passage”) Dalam Pengaturan Hukum Laut Internasional Rosmi Hasibuan, Sh.Mh Fakultas Hukum Jurusan Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara 2002
https://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_internasional, diakses pada tanggal  09 Maret 2016.
Hasjim Djalal, Persoalan Selat Malaka-Singapura. Makalah disampaikan pada Seminar mengenai Selat Malaka oleh Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan pada tanggal 13 Januari 2006
Mochtar Kusumaatmadja, 1978, Bunga Rampai Hukum Laut, Cetakan Pertama, Jakarta, hlm. 171
ST. Munadjat Danusaputro, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara, Litera, Bandung, 1978, hlm 78
M. Daud Silalahi,Op.Cit, hlm 154

Pasal 1 angka (4) Konvensi Hukum Laut 198