Monday, June 12, 2017

PERSPEKTIF LIBERALISM TERHADAP PERAN PBB DALAM MENANGANI MASALAH ISIS DI SURIAH

Timur tengah merupakan kawasan labil yang selalu bergejolak dan tidak pernah lepas dari konflik. Baik konflik intrastate maupun konflik interstate. Konflik intrastate terjadi antara Negara Irak dengan Suriah yang lama kelamaan menjadi konflik regional yang begitu kompleks. Sedangkan konflik interstate ini terjadi masih diantara negara Irak dan Suriah yang membawa babak baru dalam sejarah konflik di kawasan. Konflik Irak-Suriah yang berkepanjangan dan lambannya solusi penanganan untuk mengatasi konflik ini, masyarakat internasional dikejutkan dengan deklarasi berdirinya negara Islam Irak dan Suriah (Daulah Islamiyah fil Iraq wa Syam/Islamic State of Irak and Syiria) pada tanggal 29 Juni 2014.[1]

            Melihat kembali apa penyebab terjadinya konflik di Suriah, dikarenakan kekecewaan besar dan penindasan rezim yang berkuasa terhadap rakyatnya sendiri, maka timbulah perlawanan dari rakyat dan akhirnya menjadi perlawanan dan perjuangan secara sistematis untuk mengakhiri rezim Bashar al-Assad. Perlawanan rakyat Suriah untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad yang dianggap rezim diktaktor menyebabkan gelombang Arab Spring, dimana negara-negara di Arab seperti Tunisia, Mesir dan Libya juga melakukan perlawanan guna menjatuhkan kediktatoran-kediktatoran presiden mereka. Untuk meredam pemberontakan rakyat Suriah, pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia guna meredamkan pemberontakan. Akibat penggunaan senjata kimia banyak rakyat Suriah yang luka-luka bahkan tewas.

PBB selaku organisasi internasional dalam melaksanakan dan memelihara perdamaian dunia, melihat apa dilakukan pemerintah Suriah termasuk kejahatan berat HAM dan melanggar hukum kemanusiaan internasional. Hukum kemanusiaan internasional/hukum humaniter merupakan seperangkat aturan yang membatasi penggunaan senjata dan cara berperang. Hukum humaniter muncul untuk melindungi orang yang tidak atau tidak lagi ikut serta dalam pertikaian, sehingga bertujuan melindungi martabat manusia dan membatasi penderitaan di masa perang.[2]

Terjadinya krisis kemanusiaan di Suriah membuat Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi terkait krisis kemanusian di Suriah. Resolusi Nomor 2139 menuntut semua pihak, khususnya pihak berwenang Suriah, segera memberikan akses kemanusiaan yang cepat, aman dan tanpa hambatan bagi badan-badan kemanusiaan PBB dan mitra pelaksana mereka, termasuk lintas garis konflik dan lintas batas untuk memastikan bantuan kemanusiaan dapat mencapai orang yang membutuhkan melalui rute tercepat.[3] Juga Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah badan untuk menanggapi konflik di Suriah yang bernama United Nations Supervision Mission in Syria (UNSMIS) tahun 2012.[4]

            Konflik internal yang terjadi di Suriah menyebabkan kondisi keamanan dan politik kacau sehingga membangkitkan kelompok terorisme yang kini menjadi perhatian dunia internasional. Selain factor konflik internal yang terjadi di Suriah, adanya invansi Amerika Serikat ke Irak tahun 2003. Alasan utama Amerika Serikat melakukan invansi ke Irak dalam rangka mencari senjata pemusnah massal di Irak. Tahun 2003 rezim Saddam Husein mengalami kemunduran sehingga pada saat itu Irak mengalami situasi chaos dan vacuum of power.[5] Kedua factor tersebut yang melatarbelakangi berdirinya ISIS.

ISIS merupakan salah satu kelompok/organisasi teroris yang menggunakan kemajuan tekonlogi seperti facebook, youtube, twitter dalam menjalankan misinya. Semenjak ISIS mendeklarasikan dirinya, ada beberapa negara yang langsung merespon, contohnya Inggris dan Austalia menyatakan ISIS merupakan sebuah kelompok teroris. Sedangkan PBB menyatakan ISIS sebagai organisasi teroris pada 18 Oktober 2004 ketika masih tergabung dalam kelompok Al-Qaida Irak.[6]

Organisasi ini memiliki empat faham ideologi sekaligus, masing-masing yaitu Islamism Sunni (Sunni Islam), Salafist Jihadism (Jihad Salafiah), Worldwide Caliphate (Kekalifahan Islam Internasional) dan Anti Shiaism (Anti Mazab Syiah). Dari sisi kepemimpinannya, ISIS tidak lepas dari peranan tiga tokoh pemimpin, yaitu Abu Bakar Al-Baghdadi, Abu Oemar al-Shisani dan Abu Mohammad al-Adnani.[7]

ISIS telah melakukan tindakan genosida dengan menyiksa dan membunuh besar-besaran masyarakat Suriah dan sekitarnya, membom dan menghancurkan rumah-rumah rakyat sipil, bangunan pemerintahan dan infrastruktur di Suriah dan sekitarnya. Tindakan-tindakan represif yang dilakukan ISIS guna upaya mereka untuk mewujudkan Negara Islam. Dimana tindakan tersebut termasuk melanggar hukum kemanusiaan internasional dan dikecam oleh semua masyarakat internasional dan PBB selaku organisasi internasional yang memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Organisasi internasional didefinisikan sebagai suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama para anggotanya.[8]

Menurut Clive Archer, peranan organisasi internasional dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :
1.    Sebagai instrumen. Organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya.
2.    Sebagai arena. Organisasi internasional merupakan tempat bertemu bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-masalah yang di hadapi. Tidak jarang organisasi internasional di gunakan oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam negerinya, ataupun masalah dalam negeri negara lain dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian internasional.

Memelihara perdamaian dan keamanan dunia merupakan tugas utama dari Dewan Keamanan PBB, karena 6 organ PBB yaitu Majelis Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian, Mahkamah Internasional dan Sekretariat mempunyai tugas masing-masing agar tercapainya tujuan-tujuan PBB dalam Piagam PBB. Untuk masalah ISIS yang dewasa ini menjadi ancaman perdamaian dan keamanan seluruh Negara di dunia maka Dewan Keamanan-lah yang bertugas untuk mengatasi masalah ini.

Dewan Keamanan PBB, yaitu memelihara perdamaian dan keamanan Internasional, yang dilakukan dengan dua cara: yang pertama adalah penyelesaian secara damai sengketa-sengketa internasional yang dipandang mengancam perdamaian dan keamanan internasional, dan yang kedua (yaitu jika cara pertama dianggap gagal atau tidak memadai) adalah dengan tindakan pemaksaan.[9]

Di bawah Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, fungsi dan wewenang Dewan Keamanan ialah sebagai berikut:[10]
1.    Untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan prinsip-prinsip tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
2.    Untuk menyelidiki setiap sengketa atau situasi yang mungkin menyebabkan konflik internasional.
3.    Untuk merekomendasikan metode penyelesaian konflik tersebut atau ketentuan penyelesaiannya.
4.    Untuk merumuskan rencana pembentukan sistem dalam mengatur persenjataan.
5.    Untuk menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian atau tindakan agresi dan untuk merekomendasikan tindakan apa yang harus dilakukan.
6.    Untuk memanggil anggota untuk menerapkan sanksi ekonomi atau tindakan lain yang tidak melibatkan penggunaan kekuatan untuk mencegah atau mnghentikan agresi.
7.    Untuk mengambil tindakan militer terhadap agresor.
8.    Untuk merekomendasikan penerimaan anggota baru.
9.    Untuk melaksanakan fungsi perwalian PBB di “kawasan strategis”.
10.  Untuk merekomendasikan kepada Majelis Umum mengenai pengangkatan Sekretaris Jendral dan bersama-sama dengan Majelis, untuk memilih Hakim Mahkamah Internasional.

Tugas Dewan Keamanan PBB tergolong tugas eksekutif, tetapi tugas itu terutama terbatas pada bidang penanganan perdamaian, keamanan dan persenjataan karena Dewan Keamanan PBB mengusahakan menyelesaikan sengketa/konflik dengan secara damai. Begitu juga dengan penyelesaian masalah ISIS di Suriah, DK PBB berusaha tidak menggunakan kekerasan atau militer. DK PBB terdiri dari lima Negara yang menang perang dunia, yaitu Amerika Serikat, Rusia, China, Perancis, dan Inggris memiliki hak veto akan keputusan atas perundingan-perundingan dengan Negara-negara anggota PBB. Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki oleh anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa.
Dalam perspektif liberalisme, aktor dalam hubungan antarnegara bukan hanya sebatas negara, namun liberalisme juga menganggap pentingnya keberadaan aktor lain seperti aktor non-negara dalam proses hubungan antarnegara. Jadi PBB yang menjadi aktor non-negara menurut liberalism dapat memproses suatu konflik seperti ISIS dan dapat menjadi penghubung atau wadah Negara-negara yang menginginkan kasus ISIS di Suriah diselesaikan. Liberalism sebagai suatu perspektif berawal dari John Locke di abad ke tujuh belas yang melihat perkembangan negara-negara dalam menjamin kebebasan tiap individu.[11] Namun, apabila dipandang sebagai perspektif keilmuan, liberalisme baru muncul pada awal abad kedua puluh, sebagai adanya rasa trauma atas terjadinya perang dunia. Liberalism menurut Immanuel Kant berdasarkan bukunya yaitu Perpetual Peace mengatakan:
The law of reason dictated categorical imperatives, the most important of which was the obligation to treat others as “ends” and never only as ”means”. Kant developed what amounted to a nearly vision of world government. In his view,morality and reason combined to dictate that there should be no war,the future of human kind being based on the prospect of “universal and lasting peace”.

Ada tiga asumsi dasar liberalism, yaitu yang pertama memandang positif tentang sifat manusia, yang kedua keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual, dan yang ketiga percaya terhadap kemajuan. Ada empat macam aliran liberalism:[12]
1.    Liberalism sosiologis, berpandangan bahwa:
·         Hubungan Internasional tidak hanya mempelajari hubungan antar pemerintah saja; tetapi juga mempelajari hubungan antara individu, kelompok dan masyarakat swasta.
·         Hubungan antara rakyat bersifat lebih kooperatif dibandingkan dengan hubungan antara pemerintah.
·         Dunia dengan jumlah jaringan transnasional yang besar akan menjadi lebih damai.
2.    Liberalism interdependensi, berpandangan bahwa:
·         Modernisasi meningkatkan tingkat interdependensi di antara negara-negara.
·         Aktor-aktor transnasional semakin memiliki peran penting.
·         Kekuatan militer adalah instrumen yang kurang berguna.
·         Kesejahteraan adalah tujuan dominan negara-negara; bukan Keamanan.
·          “Interdependensi kompleks” menunjukkan suatu dunia hubungan internasional yang lebih damai.
3.    Liberalism institusional, berpandangan bahwa:
·         Institusi internasional memajukan kerjasama di antara negara-negara.
·         Institusi mengurangi masalah yang berkenaan dengan ketiadaan kepercayaan antara negara-negara dan mereka mengurangi ketakutan nagara satu sama lainnya.
4.    Liberalism republican, berpandangan bahwa:
·         Negara-negara demokrasi tidak berperang terhadap satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan oleh adanya budaya panyelesaian konflik secara damai, nilai-nilai moral bersama, dan hubungan kerjasama ekonomi dan interdependensinya yang saling menguntungkan.

Liberalism memandang Institusi atau organisasi internasional:
1.    Liberalisme percaya bahwa sistem ianternasional, mampu dikelola dengan baik melalui organisasi internasional sehingga sistem politik global akan tetap damai.
2.    Institusi/organisasi internasional sebagai alat pengikat baik pihak lain maupun diri sendiri. Kendati tidak ada satu negara yang mengakui bahwa institusi dapat mengikat secara penuh, tetapi dengan berbagai mekanisme agreement, para aktor akan mampu memecahkan prisoner’s dilemma yang ada.
3.    Institusi sebagai alat inovatif, yang dapat dijadikan alat delegasi oleh negara untuk menyelesaikan berbagai macam persengketaan, menyelesaikan krisis.
4.    Institusi sebagai alat atau penyebab perubahan melalui hasil-hasil yang dikeluarkannya. Bagi neo-liberalis, ketika institusi kuat, ada keteraturan dan anarki dapat ditekan, sebaliknya ketika institusi lemah, akan ada ketidakteraturan dimana kelahiran produk politik merupakan dampak dari anarki.

Keadaan di Suriah yang kita ketahui sangat mengkhawatikan atau sudah masuk keadaan kritis akibat perang yang terjadi dengan Irak dan keadaan sistem pemerintahan di Suriah yang sedang bergejolak karena rakyat Suriah menginginkan rezim Bashar Assad turun ditambah lagi dengan adanya kelompok separatis yang melakukan tindakan genosida terhadap rakyat Suriah dan sekitarnya. Suriah banyak mengalami kerugian, karena banyak rumah-rumah penduduk, fasilitas kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang hancur. Bahkan kerugian moril yang dirasakan rakyat Suriah akibat perang tersebut.

Perang menurut Scott Burchill, adalah:[13]
“War was the outcome of minority rule, though Kant was no champion of democratic government. liberal states, founded on individual rights such as equality before the law, free speech and civil liberty, respect for private property and representative government, would not have the same appetite for conflict and war. peace was fundamentally a question of establishing legitimate domestic orders throughout the world”.

Peran PBB sendiri dalam menangani kasus ISIS di Suriah telah banyak, seperti:
1.       PBB telah memberikan memberikan bantuan kemanusiaan korban ISIS.
2.    PBB meminta bantuan Indonesia untuk mengirimkan pasukan garuda ke Suriah. Pasukan Garuda ini disebut sebagai pasukan Peacekeeper.
3.    Pasukan Peacekeeper (dibawah naungan PBB) melakukan operasi militer di Irak dan Suriah.
4.    Mengeluarkan dan menyetujui resolusi-resolusi terkait kasus ISIS, seperti PBB mengeluarkan resolusi dengan no. 2254, dimana Dewan Keamanan PBB menyerukan bahwa gencatan senjata dengan memberikan pengarahan tentara dengan cara memantau gencatan senjata oleh Sekjen PBB Ban Ki-Moon. Juga tidak melibatkan kelompok teroris yang terlibat dan DK PBB menyatakan bahwa pemerintah Suriah transisi harus yang kredibel, inklusif dan non-sektarian.
5.    PBB membuat Responsibility to Protect (R2P) untuk menghentikan menghentikan tindakan kelompok separatis tersebut. R2P adalah sebuah prinsip atau norma keamanan internasional yang dibentuk oleh anggota-anggota PBB pada tahun 2005 bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut. Selain itu, komunitas internasional juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut.[14]
6.    PBB menghimbau masyarakat internasional untuk ikut serta dalam memperangi kelompok radikal di Suriah.
7.    PBB melarang penggunaan senjata kimia (Resolusi 2118) karena kelompok radikal ISIS maupun pemerintahan Suriah telah menggunakan senjata kimia dimana mereka telah melanggar Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan (HHIK) dan juga Konvensi Den Haag IV 1907. Aturan 70 dan Aturan 71 HHIK memberikan pengaturan mengenai prinsip umum dalam penggunaan senjata. Sedangkan Pasal 23 Konvensi Den Haag IV 1907 menentukan secara khusus pelarangan untuk menggunakan racun atau senjata beracun, penggunaan senjata, proyektil atau bahan-bahan yang mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu. Mahkamah Internasional menegaskan bahwa aturan-aturan dasar yang berasal dari Pasal 22 dan Pasal 23 Konvensi Den Haag IV 1907 mengikat semua negara baik negara yang telah meratifikasi maupun yang belum, sebab konvensi tersebut merupakan asas adat internasional yang tak terkompromikan.[15]

Liberalism berpandangan bahwa PBB sebagai key actors: organisasi internasional yang menjadi wadah untuk menjaga perdamaian dunia. Sebagaimana yang sudah tercantum dari visi dan misi PBB, yaitu memelihara dan melaksanakan perdamaian dan keamanan dunia. Liberalism memandang positif mengenai peranan organisasi internasional di dunia, begitu juga dengan PBB, kaum liberal memandang positif PBB dikarenakan  peran PBB mampu dalam menangani kasus ISIS di Suriah dan juga PBB merupakan alat untuk mencapai kepentingan bersama. Liberalism berpandangan bahwa Negara-negara yang bergabung dalam PBB merupakan key actors dalam hubungan internasional. Negara-negara anggota PBB juga dapat menyuarakan atau nmelibatkan diri dalam memelihara perdamaian dan keamanan dunia. Meskipun Negara-negara tersebut memiliki kepentingan nasional atau national interest masing-masing.

Kaum liberal percaya bahwa dengan bekerjasama akan menyelesaikan sengketa atau konflik seperti yang dilakukan PBB untuk menyelesaikan atau menangani kasus ISIS di Suriah. Dengan bekerjasama akan mampu menciptakan tujuan bersama seperti mampu mencapai kepentigan-kepentingan kolektif, mampu berkolaborasi dengan pengaturan prisioner’s dilemma, memecahkan masalah yang terkoordinasi. Kerjasama yang dilakukan PBB dengan anggota-anggotanya ialah dengan membuat dan menyetujui resolusi-resolusi untuk masalah ISIS di Suriah, contohnya resolusi no. 2254 yang disebutkan diatas. Mengirimkan pasukan-pasukan Peacekeeper dari anggota-anggotanya, contohnya PBB meminta Indonesia untuk mengirimkan pasukan garuda ke Suriah. Pasukan-pasukan Peacekeeper melakukan operasi militer terhadap ISIS di Irak dan Suriah dan juga PBB memberikan bantuan kemanusian ke Suriah dan sekitarnya. PBB sebisa mungkin menangani kasus ISIS di Suriah secara damai dengan cara berdiplomasi dengan pemerintah Suriah dan Irak, PBB menghimbau kedua Negara tersebut juga ikut serta dalam menangani masalah ISIS yang membuat Negara mereka hancur dan PBB sebisa mungkin tidak menggunakan tindakan kekerasan/militer agar tidak menimbulkan korban jiwa dan kerusakan yang massive. Dengan berdiplomasi, liberalism percaya bahwa akan mendapatkan solusi yang positive sum game.



SIMPULAN
PBB terutama Dewan Keamanan PBB sangat berperan pernting dalam menangani kasus ISIS di Suriah. ISIS merupakan kelompok radikal yang menjadi ancaman bagi seluruh Negara di dunia. Liberalism memandang positif PBB karena sebagai key actors dan wadah bagi Negara-negara yang menginginkan perdamaian di dunia ini. Kaum liberalism memandang PBB dapat menyelesaikan masalah ISIS di Suriah ini dengan cara bekerjasama dengan Negara-negara anggotanya.

Dengan bekerjasama akan mampu menciptakan tujuan bersama seperti mampu mencapai kepentigan-kepentingan kolektif, mampu berkolaborasi dengan pengaturan prisioner’s dilemma, memecahkan masalah yang terkoordinasi. Contoh kerjasama PBB dengan Negara-negara anggotanya ialah membuat dan menyetujui resolusi no. 2254 dan 2118 yang disebutkan diatas, mengirim bantuan kemanusiaan, mengirim pasukan Peacekeeper, membuat Responsibility to Protect (R2P).



DAFTAR PUSTAKA
1.    Mulyana, Yan. Dkk. 2016. “Power ISIS”. Bandung: UNPAD Press.
2.    Darmayadi, Andrias. Dkk. 2015. “Mengenal Studi Hubungan Internasional”. Bandung: Zavara.
3.    http://www.antaranews.com/berita/420540/pbb-setujui-resolusi-bantuan-untuk-suriah diakses pada 02 April 2017
4.    Mega Herlambang, Benedictus. 2015. “Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Menghentikan Kejahatan Perang Yang Dilakukan Para Pihak Yang Bertikai Dalam Konflik Bersenjata di Suriah”. Jurnal Ilmu Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum.
5.    Mulyana. Op. cit. hal: 15.
6.    Mulyana. Op. cit.
7.    http://www.bbc.com/news/world-middle-east-24179084 diakses pada 04 April 2017.
8.    Clive Archer. 1983. International Organizations.
9.    D.W Bowett. 1991. “Hukum Organisasi Internasional”. Jakarta: Sinar Grafika.
10.  http://www.un.org/en/sc/about/functions.shtml diakses pada 15 April 2017.
11.  Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.
12.  Dewi Triwahyuni. 2017. Liberalism. Materi Kuliah Teori Hubungan Internasional.
13.  Burchill, S. Linklater, A, dkk. 2009. Theories Of IR: Fourth Edition. Palgrave Macmillan. Basingstoke.
14.  http://www.responsibilitytoprotect.org/R2P_basic_info_Bahasa.pdf diakses pada 19 April 2017.
15.  Malcolm N. Shaw QC. 2013. “International Law”




[1] Mulyana, Yan. Dkk. 2016. “Power ISIS”. Bandung: UNPAD Press.
[2] Darmayadi, Andrias. Dkk. 2015. “Mengenal Studi Hubungan Internasional”. Bandung: Zavara
[3] http://www.antaranews.com/berita/420540/pbb-setujui-resolusi-bantuan-untuk-suriah diakses pada 02 April 2017
[4] Mega Herlambang, Benedictus. 2015. “Peran Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Menghentikan Kejahatan Perang Yang Dilakukan Para Pihak Yang Bertikai Dalam Konflik Bersenjata di Suriah”. Jurnal Ilmu Hukum. Yogyakarta: Fakultas Hukum.
[5] Mulyana. Op. cit. hal: 15.
[6] Mulyana. Op. cit
[7] http://www.bbc.com/news/world-middle-east-24179084 diakses pada 04 April 2017.
[8] Clive Archer. 1983. International Organizations
[9] D.W Bowett. 1991. “Hukum Organisasi Internasional”. Jakarta: Sinar Grafika.
[10] http://www.un.org/en/sc/about/functions.shtml diakses pada 15 April 2017.
[11] Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations, Oxford University Press.
[12] Dewi Triwahyuni. 2017. Liberalism. Materi Kuliah Teori Hubungan Internasional.
[13] Burchill, S. Linklater, A, dkk. 2009. Theories Of IR: Fourth Edition. Palgrave Macmillan. Basingstoke.
[14] http://www.responsibilitytoprotect.org/R2P_basic_info_Bahasa.pdf diakses pada 19 April 2017.
[15] Malcolm N. Shaw QC. 2013. “International Law”

Wednesday, February 22, 2017

JURNAL UNHCR

Profil UNHCR
UNHCR adalah organisasi internasioanal dibawah naungan PBB yang mendapat mandat penting untuk menangani berbagai permasalahan yang secara general dapat terbagi diantaranya: Refugees (pengungsi); Asylum Seekers (pencari suaka); Stateless Persons (orang-orang tanpa kewarganegaraan); Internally Displaced Persons (IDP’s); Returness (orang-orang yang kembali ke negara). UNHCR didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh sidang umum PBB dan bemarkas di Jenewa, Swiss.

Instrumen dasar dari UNHCR, ialah Statuta UNHCR yang guna agar tindakan UNHCR berlaku secara resmi di mata hukum. Dan fungsi dan wewenang UNHCR diatur dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Visi dari UNHCR sama dengan visi PBB adalah memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa, dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Misi dari UNHCR ialah berupaya untuk memastikan bahwa setiap orang dapat menggunakan hak untuk mencari suaka dan mencari perlindungan yang aman di  Negara Bagian lain, dan untuk pulang secara sukarela. Dengan membantu pengungsi untuk kembali ke negara mereka sendiri atau untuk menetap secara permanen di lain negara, UNHCR juga mencari solusi yang langgeng untuk penderitaan mereka. Jadi tujuan utama UNHCR ialah melindungi hak-hak pengungsi.

António Guterres menjabat sebagai Komisioner Tinggi PBB untuk urusan pengungsi yang ke-10 sejak 15 Juni 2005 untuk masa kerja 5 tahun. Pada April 2010, António Guterres kembali terpilih untuk menjabat sebagai komisioner organisasi UNHCR ini.



1.    Sejarah/Latarbelakang Berdirinya UNHCR
UNHCR adalah organisasi internasioanal dibawah naungan PBB yang mendapat mandat penting untuk menangani berbagai permasalahan yang secara general dapat terbagi diantaranya: Refugees (pengungsi); Asylum Seekers (pencari suaka); Stateless Persons (orang-orang tanpa kewarganegaraan); Internally Displaced Persons (IDP’s); Returness (orang-orang yang kembali ke negara)[1]

Awalnya ada sebuah organisasi internasional yang dibentuk oleh LBB, yaitu IRO. IRO atau International Refugee Organization merupakan organisasi internasional yang bertugas menangani pengungsi dan mendapat mandat untuk melindungi pengungsi yang telah diakui oleh LBB. Pada awalnya tujuan utama IRO adalah repatriasi, tetapi ketegangan politik yang akhirnya mencetuskan perang dingin telah mengubah arah kebijakan menjadi pemukiman kembali (resettlement). IRO kemudian digantikan oleh UNHCR.[2]

UNHCR sendiri didirikan pada tanggal 14 Desember 1950 oleh sidang umum PBB dan bemarkas di Jenewa, Swiss. Tahun 1951 Majelis PBB mengadakan sebuah konferensi dengan wakil-wakil Negara berkuasa penuh untuk menyusun suatu dokumen tentang kepengurusan pengungsi dan menandatangani dokumen tersebut yang dirangkum dalam Konvensi mengenai status pengungsi. Konvensi ini dilatarbelakangi banyaknya korban pengungsi paska Perang Dunai II di Eropa.[3]

Pada tahun 1954, UNHCR memenangkan penghargaan Nobel Peace atas kerja besarnya membantu pengungsi di Eropa. Mandatnya kemudian diperluas hingga akhir dekade. Lebih dari 25 tahun kemudian, UNHCR menerima penghargaan pada tahun 1981 atas kontribusinya yang berupa bantuan global bagi para pengungsi dengan kutipan yang menggaris bawahi hambatan politik yang harus dihadapi UNHCR. Dari jumlah Negara anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini UNHCR telah memiliki 7,190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara, dengan staff yang berbasis di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.

Pada tahun 1956, UNHCR mengalami keadaan darurat terbesarnya yang pertama, dimana jumlah pengungsi mengalami peledakan dikarenakan Soviet yang menghancurkan Revolusi Hongaria. Segala teori yang menyebutkan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan, tidak lagi mengemuka. Pada tahun 1960-an, dekolonisasi Afrika menyebabkan krisis pengungsi dalam jumlah terbesar dalam benua tersebut hingga membutuhkan intervensi UNHCR. Selama dua dekade berikutnya UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Latin Amerika. Pada akhir abad, terdapat permasalahan pengungsi baru di Afrika, menjadikan adanya siklus yang berulang dan membawa gelombang pengungsi baru di Eropa menyusul serangkaian perang di daerah Balkan.

Pada awal abad 21, UNHCR telah membantu berbagai krisis pengungsi terbesar di Afrika seperti di Republik Demokrat Kongo dan Somalia, serta di Asia, terutama dalam permasalahan pengungsi di Afghanistan yang berlangsung selama 30 tahun. Pada saat yang sama, UNHCR diminta untuk menggunakan keahliannya untuk mengatasi permasalahan pengungsi internal yang disebabkan oleh konflik. Disamping itu, peran UNHCR juga meluas hingga menangani bantuan bagi orang – orang tanpa kewarganegaraan, sebuah kelompok orang yang berjumlah jutaan namun tidak kasat mata, sementara mereka menghadapi bahaya kehilangan hak – hak dasarnya karena tidak memiliki kewarganegaraan. Di beberapa bagian dunia seperti Afrika dan Amerika Latin, mandat awal UNHCR yang ditetapkan pada tahun 1951 telah diperkuat dengan adanya perjanjian tentang instrumen hukum regional.

Dana yang dibutuhkan telah berkembang dari US$300,000 pada saat pertama didirikan, hingga mencapai US$3.32 billion pada tahun 2011. in 2011. Lebih dari 43 juta orang mengalami pergerakan ke tempat yang tidak seharusnya di seluruh dunia. Saat ini UNHCR mengurus 36,4 juta orang yang diantaranya terdiri dari: 15,6 juta pengungsi internal, 10,4 juta pengungsi 2,5 juta orang yang kembali ke negara asalnya, 6,5 juta orang tanpa kewarganegaraan, lebih dari 980,000 pencari suaka dan lebih dari 400,000 orang yang menjadi perhatian UNHCR lainnya. Sebuah organisasi yang awalnya memiliki mandat bekerja tiga tahun untuk menangani permasalahan pengungsi namun telah merayakan hari jadi-nya yang ke-60 pada 14 December 2010,  menyadari bahwa kebutuhan kemanusiaan tidak akan pernah ada habisnya.[4]

UNHCR memiliki instrumen dasar agar tindakan UNHCR berlaku secara resmi di mata hokum, yaitu Statuta UNHCR. Kerangka hukum UNHCR diantaranya hukum pengungsi internasional, hukum hak asasi manusia internasional serta hukum kemanusiaan internasional dan hukum kejahatan internasional di kasus-kasus tertentu. Kerangka hukum ini diperkuat dengan adanya Konvensi 1951 dan Protokol 1967 sebagai aturan internasional dalam menangani kasus pengungsi.

Organisasi ini diberi waktu selama 3 tahun untuk untuk menjalankan tugasnya dalam membantu korban-korban pengungsian paska Perang Dunia II. Setelah masa bertugas yang telah diberikan lewat dan PBB merasa organisasi ini sangat dipentingkan karena banyaknya konflik-konflik yang terjadi di dunia, semakin banyaknya perang, penganiayaan, pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang menjadikan rakyat yang tidak bersalah menjadi korban, maka UNHCR tidak dibubarkan melainkan tetap menjalankan tugasnya dalam memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menjadi korban pengungsian akibat adanya konflik maupun perang.

2.    Keanggotaan
Dari jumlah Negara anggota sebanyak 34 staff pada saat awal berdirinya, saat ini UNHCR telah memiliki 7,190 staff nasional dan internasional, termasuk 702 orang yang bekerja di kantor pusat di Geneva. UNHCR bekerja di 123 negara, dengan staff yang berbasis di 124 lokasi utama, seperti di daerah dan kantor cabang, dan 272 sub-kantor dan kantor lapangan yang seringkali berada di daerah terpencil.

Sistem Keorganisasian UNHCR, diantaranya:[5]
a.    Komisaris Tinggi (pemimpin) UNHCR akan dipilih oleh Majelis Umum PBB atas pencalonan dari Sekretaris Jenderal. Persyaratan pengangkatan Komisaris Tinggi akan diusulkan oleh Sekretaris Jenderal dan disetujui oleh Majelis Umum. Komisaris Tinggi akan dipilih untuk masa jabatan 3 tahun terhitung mulai 1 Januari 1951.
b.    Komisaris Tinggi akan mengangkat (untuk masa jabatan yang sama) seorang Wakil Komisaris Tinggi yang bekewarganegaraan lain dari kewarganegaraannya sendiri.
c.    -Dalam batas-batas penyediaan anggaran yang diberikan, staf Komisariat Tinggi (UNHCR) akan diangkat oleh Komisaris Tinggi dan akan bertanggung jawab kepadanya dalam pelaksanaan fungsi-fungsi mereka.
-Staf termaksud akan dipilih dari orang-orang yang setia pada tujuantujuan Komisariat Tinggi.
-Kondisi-kondisi pengerjaan mereka adalah kondisi-kondisi pengerjaan yang diatur menurut peraturan staf yang diterima oleh Majelis Umum dan ketentuan yang ditetapkan berdasarkan peraturan tersebut oleh  sekretaris Jendral.
-Ketentuan dapat juga dibuat untuk memperkerjakan personel tanpa kompensasi.
d.    Komisaris Tinggi akan berkonsultasi dengan pemerintah negara-negara tempat tinggal para pengungsi mengenai perlunya pengangkatan wakil-wakil di negara-negara tersebut. Di negara yang mengakui keperluan termaksud dapat diangkat seorang wakil yang disetujui oleh pemerintah negara itu. Dengan ketentuan sebagaimana disebut terdahulu, wakil yang sama dapat bertugas di lebih dari satu negara.
e.    Komisaris Tinggi dan Sekretaris Jenderal akan membuat pengaturan yang tepat bagi penyelenggaraan hubungan dan konsultasi mengenai masalah-masalah yang merupakan kepentingan bersama.
f.     Sekretaris Jenderal akan memberikan kepada Komisaris Tinggi segala fasilitas yang perlu dalam batasan-batasan anggaran.
g.    Komisaris Tinggi akan berkedudukan di Jenewa Swiss.
h.    Komisaris Tinggi akan dibiayai dari anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa, kecuali Majelis Umum kemudian memutuskan lain, tidak ada pengeluaran selain pengeluaran administratif yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi Komisariat Tinggi akan dibebankan pada anggaran Perserikatan Bangsa-Bangsa dan segala pengeluaran lain yang berkaitan dengan kegiatan Komisaris Tinggi akan dibiayai oleh sumbangan sukarela.
i.      Administrasi Komisariati Tinggi akan ditundukkan pada Peraturan Keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pada ketentuan keuangan yang ditetapkan atas dasar itu oleh Sekretaris Jenderal.
j.      Transaksi-transaksi yang berkaitan dengan dana Komisaris Tinggi akan dikenakan audit oleh dewan Auditor Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan ketentuan bahwa Dewan tersebut dapat menerima laporan-laporan yang sudah diaudit dari badan-badan yang mendapat alokasi dana. Pengaturan administratif bagi penahanan dana termaksud dan alokasinya akan disepakati antara Komisaris Tinggi dan Sekretaris Jenderal sesuai dengan peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa serta ketentuan yang ditetapkan atas dasar peraturan tersebut oleh Sekretaris Jenderal.

Daftar nama-nama ketua (Komisaris Tinggi) UNHCR:
No
Nama
Tahun Jabatan
Asal Negara
1
Gerrit Jan van Heuven Goedhart
1951-1956
Belanda
2
Auguste Lindt
1956-1960
Swiss
3
Félix Schnyder
1960-1965
Swiss
4
Sadruddin Aga Khan
1965-1967
Iran
5
Poul Hartling
1978-1985
Denmark
6
Jean-Pierre Hocké
1986-1989
Swiss
7
Thorvald Stoltenberg
Jan-Nov 1990
Norwegia
8
Sadako Ogata
1991-2000
Jepang
9
Ruud Lubbers
2001-2005
Belanda
10
António Guterres
2005-Sekarang
Portugal

3.    Visi, Misi dan Tujuan
Visi UNHCR sendiri sama dengan visi PBB, yaitu: memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa, dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Misi dari UNHCR ialah berupaya untuk memastikan bahwa setiap orang dapat menggunakan hak untuk mencari suaka dan mencari perlindungan yang aman di  Negara Bagian lain, dan untuk pulang secara sukarela. Dengan membantu pengungsi untuk kembali ke negara mereka sendiri atau untuk menetap secara permanen di lain negara, UNHCR juga mencari solusi yang langgeng untuk penderitaan mereka.[6]

UNHCR memiliki tujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB kemudian untuk mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru.[7] Jadi tujuan utama dari UNHCR yaitu untuk melindungi hak-hak pengungsi.

4.    Kegiatan yang sudah dilakukan
·         Tahun 1954 UNHCR telah berhasil membantu pengungsi di Eropa sehingga mendapatkan penghargaan Nobel Peace.
·         Tahun 1956 UNHCR telah berhasil membantu ledakan pengungsi rakyat Hongaria saat gagalnya Revolusi Hongaria.
·         Tahun 1960 UNHCR melakukan intervensi dan UNHCR melakukan peran yang sangat baik dalam menangani masalah dekolonisasi di Afrika sehingga permasalahan krisis pengungsi dapat diatasi.
·         Tahun 1980 terjadi perperangan di wilayah Asia-Afrika yang menimbulkan banyak korban pengungsi (Libanon, Somalia, Srilanka, Afghanistan, Urganda). UNHCR melalui Konvensi 1951 dan Protokol 1967 melaksanakan fungsinya dalam penanggulangan pengungsi di kawasan Asia-Afrika tersebut.
·         Tahun 1981 UNHCR telah berhasil membantu dan mengatasi pengungsi dalam dimensi global sehingga hal ini UNHCR mendapatkan kembali penghargaan.
·         Dari tahun 1981 sampai awal tahun 2000 UNHCR membantu mengatasi pergerakan manusia di Asia dan Latin Amerika.
·         Saat ini UNHCR sedang melakukan misi bantuan kemanusiaan di daerah Arab, seperti Suriah, Lebanon, Irak dan menangani masalah manusia perahu etnis Rohingya.



5.    Permasalahan yang dihadapi oleh UNHCR
Perang Dunia II yang terjadi pada tahun 1939-1945 di benua Eropa. Perang Dunia II antara Jerman dengan Negara sekutunya yaitu Amerika Serikat. Perang Dunia II meledak, dikarenakan Adolf Hitler yang saat itu tokoh yang paling berkuasa dan paling ditakuti di Jerman menyerang Polandia. Polandia diintervensi dan berhasil dikuasai oleh Jerman hanya dalam 17 hari. Penyerangan dan penaklukan Polandia yang dilakukan Jerman, membuat Perancis merasa was-was terhadap Jerman. Perasaan was-was yang dirasakan Perancis jika Jerman akan menyerang Perancis memang terjadi. Sehingga Perancis belum melakukan persiapan perang dengan Jerman, akhirnya kalah.

Kekalahan Perancis mendapat simpati dari Inggris dan Amerika Serikat. Sehingga mereka membentuk sebuah aliansi untuk menjatuhkan Jerman. Dan dari sinilah Perang Dunia II berlanjut, membuat banyaknya bangunan yang hancur, banyaknya bertumpahan darah sampai menyebabkan nyawa melayang saat Perang Dunia II berlangsung. Selama Perang Dunia II banyak perubahan-perubahan yang terjadi di Negara-negara di benua lain. Perubahan-perubahan tersebut merubah cara pandang politik, ekonomi, dan sosial Negara-negara lainnya. Para pemimpin Negara tersebut memikirkan bagaimana mereka akan bertahan selama paska Perang Dunia II, karena suasana saat itu sangat tidak kondusif.

Selain itu, melihat kondisi benua Eropa saat pasca Perang Dunia II sangat memprihatinkan. Banyaknya bangunan yang hancur akibat peperangan dan tidak layak untuk ditempati, serta banyaknya korban-korban yang menderita luka-luka hingga ada yang meninggal. Krisis ekonomi yang terjadi di Eropa pasca Perang Dunia II menyebabkan mereka yang selamat dari Perang Dunia II, hidup dalam keadaan mengenaskan. Sehingga mereka meninggalkan tempat mereka berasal dan mencari tempat untuk hidup yang layak. Krisis kemanusiaan pasca Perang Dunia II membuat PBB membentuk sebuah organisasi internasional yang khusus menangani pengungsi, yaitu UNHCR (United Nations High Commissioner of Refugee).

Contoh lainnya krisis kemanusiaan seperti pada tahun 1956 terjadi eksodus besar-besaran, meledaknya pengungsi orang-orang Hongaria. Tahun 1956, Uni Soviet melakukan invansi ke Hongaria. Tujuan Uni Soviet melakukan invansi adalah untuk menggagalkan Revolusi Hongaria. Dimana Hongaria ingin merubah rezimnya dari komunis ke demokratis. Namun Uni Soviet melihat Hongaria dapat dijadikannya sekutunya di Eropa Timur, sehingga Uni Soviet menggagalkan Revolusi Hongaria dan rezim komunis tetap diterapkan di Hongaria. Invansi Uni Soviet ke Hongaria mengakibatkan 3000 orang tewas dan belasan ribu orang luka-luka. Mereka yang masih hidup dan berjumlah puluhan ribu ada yang di penjara dan di deportasi ke Uni Soviet.[8]

Tak ayal banyak rakyat Hongaria yang melarikan diri untuk menghindari perang di Negaranya sendiri. Jumlah rakyat Hongaria yang melarikan diri dari negaranya ada sekitar 200.000 orang. Peledakan jumlah pengungsi rakyat Hongaria mengakibatkan teori-teori mengenai UNHCR tidak dibutuhkan atau dipandang sebelah mata. UNHCR berupaya agar teori-teori yang mengatakan bahwa UNHCR tidak dibutuhkan itu hilang, dengan memberikan bantuan berupa memberi tenda-tenda atau menyewa sebagai tempat tinggal, makanan, air bersih, pakaian dan memberi pelindungan kepada rakyat Hongaria yang berada di Negara mereka tempati sementara.

Hal ini sesuai dengan isi konvensi 1951 dan protokol 1967 mengenai pengungsi, diantaranya:[9]
a.    Pengertian dasar pengungsi.
Pengertian dasar Pengungsi diartikan dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 penting diketahui sebab diperlukan untuk menetapkan status pengungsi seseorang (termasuk pengungsi atau bukan). Penetapan ini ditetapkan oleh negara tempat orang itu berada dan bekerja sama dengan UNHCR  (United Nation High Commissioner For Refugee), yang menangani masalah pengungsi dari PBB.
b.    Status hukum pengungsi, hak dan kewajiban pengungsi di negara tempat pengungsian (hak dan kewajiban berlaku di tempat pengungsian itu berada).
c.    Implementasi (pelaksanaan) perjanjian, terutama menyangkut administrasi dan hubungan diplomatik. Di sini titik beratnya administrasi dan hubungan diplomatik. Disini titik beratnya ialah pada hal-hal yang menyangkut kerja sama dengan UNHCR. Dengan demikian, UNHCR dapat melakukan tugasnya sendiri dan melakukan tugas pengawasan, terutama terhadap negara-negara tempat pengungsi itu berada.

Seiring berkembangnya zaman, banyak konflik yang terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan ras/etnis, ras/etnis dengan ras/etnis. Contoh konflik antara Negara dengan ras/etnis adalah kasus Negara Myanmar dengan etnis Rohingya. Awal mula terjadinya konflik ini ialah junta Myanmar mengkambinghitamkan etnis Rohingya dengan etnis Rakhine yang beragama budha, dengan mengadakan kampanye anti islam agar etnis Rohingya dimusuhi.[10] Pemerintah Myanmar tidak mengakui adanya etnis Rohingya sebagai warga Negara Myanmar, sebagaimana terdapat dalam Burma Citizenship Law 1982, isinya:[11]

Pasal 3: “Nationals such as the Kachin, Kayah, Karen, Chin, Burman, Mon, Rakhine or Shan and ethnic groups as have settled in any of the territories included within the State as their permanent home from a period anterior to 1185 B.C., 1823 A.D. are Burma citizens.”
Pasal 4: “The Council of State may decide whether any ethnic group is national or not.”

Tindakan tidak adil yang etnis Rohignya terima dari pemerintahan Myanmar mengakibatkan mereka melarikan diri dari negaranya dan mengungsi ke Negara-negara terdekat seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand. Kedatangan mereka dianggap sebagai imigran gelap atau pengungsi karena mereka tidak memiliki izin hukum yang legal untuk memasuki suatu wilayah. Sebelumnya mari kita ketahui apa itu yang dimaksud dengan pengungsi. Pengungsi menurut seorang ahli, Malcom Proudfoot mengatakan bahwa[12]
These forced movements,...were the result of the persecution, forcible deportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror of bomb arment from the air and under the threat or pressure of advance or retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of populations from coastal or defence areas under military dictation; and the deportation for forced labour to bloster the German war effort.

Pengertian pengungsi menurut UNHCR ada dua istilah:[13]
a.    Pengungsi Mandat adalah orang-orang yang diakui statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi, wewenang atau mandate yang ditetapkan oleh statute UNHCR.
b.    Pengungsi statuta adalah orang-orang yang berada di wilayah Negara-negara pihak pada Konvensi 1951 (setelah mulai berlakunya konvensi ini sejak tanggal 22 April 1954) dan/atau Protokol 1967 (sesudah mulai berlakunya Protokol ini sejak 4 Oktober 1967). Jadi antara kedua istilah ini hanya dipakai untuk membedakan antara pengungsi sebelum Konvensi 1951 dengan pengungsi menurut Konvensi 1951. Kedua kelompok yang dalam instrumen-instrumen internasional masuk dalam kategori pengungsi yang dapat mendapat perlindungan UNHCR.

Pengungsi menurut Haryomataram terbagi dua macam, yaitu:[14]
a.    Human Rughts Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena adanya “fear of being persecuted”, yang disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan atau keyakinan politik. Telah ada Konvensi dan Protokol yang mengatur Status dari Human Rights Refugees ini.
b.    Humanitarian Refugees adalah mereka yang (terpaksa) meninggalkan negara atau kampung halaman mereka karena merasa tidak aman disebabkan karena ada konflik (bersenjata) yang berkecamuk dalam negara mereka. Mereka pada umumnya, di negara dimana mereka mengungsi, dianggap sebagai “alien‟. Menurut Konvensi Geneva 1949, “alien” ini diperlakukan sebagai “protected persons”. Dengan demikian mereka mendapat perlindungan seperti yang diatur, baik dan Konvensi Geneva 1949 (terutama Bag. IV), maupun dalam Protokol Tambahan I – 1977.

Jadi definisi pengungsi menurut saya sendiri, pengungsi adalah orang-orang yang pergi meninggalkan negaranya untuk mendapatkan hak kehidupan yang lebih baik di Negara yang didatanginya, karena mereka mendapatkan ancaman, penyiksaan yang menimbulkan rasa trauma dan ketakutan akan negaranya sendiri.

                        Konflik etnis Rohingya dengan pemerintah Myanmar ini mendapat perhatian seluruh dunia. Bahkan UNHCR langsung turun tangan untuk menangani masalah ini, karena ini telah termasuk dalam kejahatan genosida. UNHCR segera memberi bantuan bahkan Negara yang didatangi pengungsi tidak mentandatangani atau meratifikasi Kovensi 1951 dan Protokol 1967. Seperti Indonesia, merupakan Negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia namun Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967. Indonesia menampung para pengungsi etnis Rohingya dengan batasan waktu yang ditetapkan, tentu ini telah ditetapkan status pengungsi oleh UNHCR. Indonesia hanya memberi lahan untuk pemukiman, namun Indonesia tidak memiliki dana yang lebih untuk memberi bantuan lanjutan. Sehingga Indonesia meminta bantuan dana ke UNHCR dan UNHCR memberikannya.

                        Selain itu, dalam konflik etnis Rohingya sangat kompleks. Karena etnis Rohinya distatuskan sebagai pengungsi di Negara pemberi suaka dan juga etnis Rohingya ini telah kehilangan kewarganegaraan sebab tidak diakuinya oleh pemerintah Myanmar juga telah terdapat didalam Burma Citizenship Law 1982 yang isinya telah saya tuliskan diatas. Disini fungsi UNHCR meluas, dimana UNHCR berupaya menangani bantuan bagi orang-orang tanpa kewarganegaaran yaitu dengan memberikan bantuan hukum kepada orang-orang yang tidak berkewarganegaraan dan membantu menghindari serta menghapus adanya orang tanpa status kewarganegaraan di dunia

                        Banyaknya perperangan yang mengakibatkan krisis kemanusian, maka banyaknya dana bantuan kemanusiaan yang dikeluarkan oleh UNHCR. Anggaran bantuan kemanusiaan UNHCR telah diatur dalam Statuta UNHCR pasal 15(a):[15]
Within the limits of the budgetary appropriations provided, the staff of the Office of the High Commissioner shall be appointed by the High Commissioner and shall be responsible to him in the exercise of their functions.

UNHCR saat ini mengalami krisis financial. Seperti contoh saat ini terjadi perperangan yang bergejolak di tanah Arab. Perperangan untuk merebutkan tanah suci di Suriah menyebabkan kota Suriah dan sekitarnya hancur lebur. Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan dan banyaknya jumlah pengungsi dari tanah Arab tersebut. Misi bantuan kemanusiaan yang dilakukan UNHCR butuh biaya yang besar untuk masalah ini. Apalagi saat musim dingin yang terjadi, kekurangan dana sebesar $25 juta dengan 1.9 juta orang IDP (Internal Displace Person) dan 225.000 pengungsi ke Negara tetangga.[16]
           
                        Di Suriah, bantuan yang diberikan UNHCR difokuskan menjadi dua bidang. Yang pertama, penyediaan paket bantuan musim dingin terdiri dari barang-barang bantuan inti, tempat penampungan kolektif dan swadaya yang saat ini menjadi perumahan ribuan keluarga pengungsi. Populasi untuk paket bantuan musim dingin ada sekitar 2,05 juta orang, dan UNHCR menanggung 68 persen dari mereka. Jadi biaya yang diperlukan ada sekitar $27,4 juta untuk menutupi 1,4 juta orang.

Yang kedua, penampungan kolektif dan pribadi untuk 13.700 keluarga, termasuk penyediaan berbagai bahan untuk menjaga keluarga tetap hangat dan kering. Bahan-bahan ini termasuk lembaran isolasi nilon dan karpet lantai, insulasi atap, terpal transparan untuk jendela, dan memperluas busa untuk menutup kesenjangan dinding dan pintu. Jadi Biaya rata-rata per penampungan adalah antara $250 dan $300 dan total yang dibutuhkan untuk 13.700 keluarga adalah $3,8 juta.[17]

                        Masalah lain yang dihadapi UNHCR ialah dahulu para staf UNHCR dilindungi untuk berpergian dengan bebas dan aman di wilayah konflik, namun sekarang banyak Negara yang berkonflik tidak menghormati netralitas dan sifat kemanusiaan para pekerja PBB. Tak sedikit pekerja kemanusiaan PBB jadi korban penculikan dan pembunuhan saat menjalankan tugas.



Kesimpulan
   Lahirnya UNHCR dilatarbelakangi karena pada pasca Perang Dunia II terjadi peledakan pengungsi. Sehingga PBB membentuk sebuah organisasi internasional yang bergerak khusus menangani masalah pengungsi. UNHCR memiliki instrumen dasar agar tindakan UNHCR berlaku secara resmi di mata hukum, yaitu Statuta UNHCR.

            Semenjak lahirnya UNHCR banyak pro dan kontra atau permasalahan yang dihadapinya. Dengan adanya UNHCR, hak masyarakat internasional dilindungi secara fundamental. Dan permasalahan yang dihadapi UNHCR, bermula saat meledaknya pengungsi di Eropa tahun 1954. Karena baru dibentuk UNHCR kekurangan staf untuk mengurus pengungsi di Eropa pada saat itu. Permasalahan yang dihadapi UNCHR sekarang ialah banyaknya Negara yang berkonflik juga semakin banyak dana bantuan kemanusiaan yang akan disalurkan untuk korban yang selamat. Sehingga UNHCR mengalami krisis financial. Dana Komisatariat Tinggi PBB (UNHCR) tidak meminta bantuan ke negara pemberi suaka atau ke Negara-negara lain, melainkan UNHCR memperoleh dana dari dana sukarela yang diberikan masyarakat internasional.

            Masalah lain adalah keselamatan pekerja UNHCR tidak terjamin, banyak diantara mereka menjadi korban penculikan dan pembunuhan saat mereka melakukan tugas. Hal ini dikarenakan Negara yang berkonflik tidak menghormati netralitas dan sifat kemanusiaan para pekerja



Daftar Pustaka
1.      Hegar Julius. 2013. “Peranan United Nations High COmmisioner Refugees (UNHCR) Dalam Menangani Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia 2008-2011. Skripsi Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.
2.      M. Husni Syam. “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/syiar_hukum/article/download/505/pdf diakses 10 Januari 2017.
3.      UNCHR. “Sejarah UNHCR”, dalam http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr/sejarah-unhcr diakses 10 Januari 2017.
4.    Ibid.
5.    Universitas Sumatera Utara. “Bab II: Profil UNHCR”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/58090/4/Chapter%20II.pdf diakses 03 Januari 2017.
6.    UNHCR. “Mission Statement”, dalam http://www.unhcr.or.id/images/pdf/mission_statement.pdf diakses 13 Januari 2017.
7.    NN. 2013. “Tugas Lembaga-Lembaga PBB”, dalam https://langit-langit.com/2013/12/17/tugas-lembaga-khusus-pbb/ diakses 13 Januari 2017.
8.    NN. 2012. “Invansi Uni Soviet ke Hongaria (1956)”, dalam http://www.re-tawon.com/2012/08/invasi-uni-soviet-ke-hungaria-1956.html diakses 13 Januari 2017.
9.    “Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dalam si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN%20PENGUNGSI.doc diakses 31 Oktober 2016.
10.  Winner Nabilla Jatyputri. 2015. “Penerapan Prinsip Non-Discrimination Bagi Pengungsi Rohingya di Indonesia”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
11.  Burma Citizenship Law, dalam http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/87413/99608/F111836952/MMR87413.pdf diakses 06 Januari 2017.
12.  Rahmat, Darmawan. “Pengertian Refugees (Pengungsi), dalam https://www.academia.edu/9834490/Pengertian_Refugees_Pengungsi diakses 13 Januari 2017.
13.  “Pengaturan Pengungsi Internasional dalam Hukum Internasional”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/48176/3/Chapter%20II.pdf diakses 13 Januari 2017.
14.  “Aturan-aturan Hukum Internasional Mengenai Suaka”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/50980/3/Chapter%20II.pdf diakses 13 Januari 2017.
15.  Statuta UNHCR.
16.   NN. 2014. “UNHCR: Pengungsi di Negara-Negara Sekitar Suriah&Irak yang Dilanda Kekurangan Bantuan Musim Dingin”, dalam http://www.hasi.or.id/unhcr-kondisi-pengungsi-di-negara-negara-sekitar-suriah-irak-yang-dilanda-kekurangan-bantuan-musim-dingin.aspx/ diakses 13 Januari 2017.
17.  Ibid.




[1] Hegar Julius. 2013. “Peranan United Nations High COmmisioner Refugees (UNHCR) Dalam Menangani Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia 2008-2011. Skripsi Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Komputer Indonesia.
[2] M. Husni Syam. “Perlindungan Internasional Terhadap Pengungsi Dalam Konflik Bersenjata”, dalam http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/syiar_hukum/article/download/505/pdf diakses 10 Januari 2017.
[3] UNCHR. “Sejarah UNHCR”, dalam http://www.unhcr.or.id/id/tentang-unhcr/sejarah-unhcr diakses 10 Januari 2017.
[4] Ibid.
[5] Universitas Sumatera Utara. “Bab II: Profil UNHCR”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/58090/4/Chapter%20II.pdf diakses 03 Januari 2017.
[6] UNHCR. “Mission Statement”, dalam http://www.unhcr.or.id/images/pdf/mission_statement.pdf diakses 13 Januari 2017.
[7] NN. 2013. “Tugas Lembaga-Lembaga PBB”, dalam https://langit-langit.com/2013/12/17/tugas-lembaga-khusus-pbb/ diakses 13 Januari 2017.
[8] NN. 2012. “Invansi Uni Soviet ke Hongaria (1956)”, dalam http://www.re-tawon.com/2012/08/invasi-uni-soviet-ke-hungaria-1956.html diakses 13 Januari 2017.
[9]“Perlindungan Pengungsi (Refugee) Menurut Hukum Internasional”, dalam si.uns.ac.id/profil/uploadpublikasi/Jurnal/196004161986011002PERLINDUNGAN%20PENGUNGSI.doc diakses 31 Oktober 2016.
[10] Winner Nabilla Jatyputri. 2015. “Penerapan Prinsip Non-Discrimination Bagi Pengungsi Rohingya di Indonesia”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
[11]Burma Citizenship Law, dalam http://www.ilo.org/dyn/natlex/docs/ELECTRONIC/87413/99608/F111836952/MMR87413.pdf diakses 06 Januari 2017.
[12] Rahmat, Darmawan. “Pengertian Refugees (Pengungsi), dalam https://www.academia.edu/9834490/Pengertian_Refugees_Pengungsi diakses 13 Januari 2017.
[13]“Pengaturan Pengungsi Internasional dalam Hukum Internasional”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/48176/3/Chapter%20II.pdf diakses 13 Januari 2017.
[14]“Aturan-aturan Hukum Internasional Mengenai Suaka”, dalam http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/50980/3/Chapter%20II.pdf diakses 13 Januari 2017.
[15] Statuta UNHCR.
[16] 2014. “UNHCR: Pengungsi di Negara-Negara Sekitar Suriah&Irak yang Dilanda Kekurangan Bantuan Musim Dingin”, dalam http://www.hasi.or.id/unhcr-kondisi-pengungsi-di-negara-negara-sekitar-suriah-irak-yang-dilanda-kekurangan-bantuan-musim-dingin.aspx/ diakses 13 Januari 2017.
[17] Ibid.